LANDASAN SOSIOLOGIS
PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA
Oleh : Reza
Fahlevi, S.Pd.
Manusia adalah makhluk hidup yang
diberikan berbagai potensi oleh Tuhan, setidaknya manusia diberikan kelebihan
dari mahluk lainnya. Kelebihan-kelebihan itu dapat berupa bahasa yang
menghubungkan manusia satu dengan manusia lainnya yang akhirnya membentuk
kesatuan sosial yang menghasilkan komunitas, organisasi, aliran bahkan budaya. Namun
tentu saja potensi yang dimilikinya harus digunakan semaksimal mungkin sebagai
bekal dalam menjalani hidupnya. Untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki
oleh kita sebagai manusia, tentunya harus ada sesuatu yang mengarahkan dan
membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan apa yang diharapkan.
Mengingat begitu besar pengaruh
potensi yang dimiliki manusia, maka pendidikan adalah salah satu cara yang
harus ditempuh oleh manusia untuk mengembangkan potensi tersebut. Di lain
pihak, manusia memiliki kemampuan dan keterampilan yang berbeda-beda dengan
manusia yang lain. Sedangkan pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan yang sesuai prosedur pendidikan itu sendiri guna
pengembangan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki manusia dalam landasan
pendidikannya.
Landasan Pendidikan diperlukan
agar pendidikan yang sedang berlangsung mempunyai pondasi atau pijakan yang
kuat. Menurut sifat wujudnya, landasan dapat dibedakan menjadi : (1) landasan
yang bersifat material, dan (2) landasan yang bersifat konseptual. Contoh
landasan yang bersifat material antara lain berupa landasan pacu pesawat
terbang dan fundasi bangunan gedung. Adapun contoh landasan yang bersifat
konseptual antara lain berupa dasar Negara Republik Indonesia yaitu
Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan, dsb. Landasan yang
bersifat konseptual identik dengan asumsi, yaitu suatu gagasan, kepercayaan,
prinsip, pendapat atau pernyataan yang sudah dianggap benar, yang dijadikan
titik tolak dalam rangka berpikir (melakukan suatu studi) dan/atau dalam rangka
bertindak. (melakukan suatu praktek). Untuk di Indonesia diperlukan landasan
pendidikan berupa landasan hukum, landasan filsafat, landasan sejarah, landasan
sosial, landasan budaya, landasan psikologi,dan landasan ekonomi. Pendidikan
sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari landasan-landasan
tersebut karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia
dan masyarakat bangsa tertentu.
Pendidikan
dipercaya dapat membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi
lebih baik. Namun, apa jadinya jika pendidikan hanya mementingkan
intelektual semata tanpa membangun karakter peserta didiknya. Hasilnya
adalah kerusakan moral dan pelanggaran nilai-nilai pada akhirnya, hasil
pendidikan ini hanya akan menjadikan manusia seperti robot, berakal tapi tidak
berkepribadian ( jiwa kosong ).
Untuk
itulah, urgensi pendidikan
karakter kiranya adalah jawaban bagi kondisi pendidikan seperti ini. Dengan
adanya pendidikan karakter semenjak usia dini diharapkan persoalan mendasar
dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir ini sering menjadi keprihatinan bersama
dapat diatasi.
Adapun yang menjadi fokus pembahasan
Landasan Sosiologi Pendidikan adalah pada pengertian landasan sosiologi, latar
belakang histories perkembangannya, landasan sosiologi pendidikan, ruang
lingkup dan fungsi kajian sosiologi pendidikan, dan kajian masyarakat
Indonesia sebagai landasan sosiologi sistem pendidikan nasional.
PEMBAHASAN
Pengertian Sosiologis Pendidikan
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan tentang
masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu otonom dapat lahir karena terlepas dari
pengaruh filsafat. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August
Comte (1798 – 1857). Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
manusia dalam kelompok – kelompok dan struktur sosialnya. Sosiologi mempunyai
ciri – ciri :
1. Empiris, adalah ciri utama sosiologi
sebagai ilmu. Sebab ia bersumber dan diciptakan dari kenyataan yang terjadi di
lapangan.
2. Teoritis, adalah peningkatan fase
penciptaan tadi yang menjadi salah satu bentuk budaya yang bisa disimpan dalam
waktu lama dan dapat diwariskan kepada generasi muda.
3. Komulatif, sebagai akibat dari
penciptaan terus – menerus sebagai konsekuensi dari terjadinya perubahan di
masyarakat, yang membuat teori – teori itu akan berkomulasi mengarah kepada
teori yang lebih baik.
4. Nonetis, karena teori ini
menceritakan apa adanya tentang masyarakat beserta individu – individu di
dalamnya, tidak menilai apakah hal itu baik atau buruk.
Dalam kehidupan bermasyarakat
dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham
individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham
individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup
merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya
masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak
individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan kepentingan individu
di atas kepentingan masyarakat.
Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara
anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga
menimbulkan dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat
sajalah yang dapat eksis. Berhadapan dengan paham di atas adalah paham
kolektivisme yang memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan
kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi
masyarakatnya. dalam masyarakat yang menganut paham integralistik;
masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara
organis merupakan masyarakat.
Landasan sosiologis pendidikan di
Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk
mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3)
negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak
dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya
meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas struktur
masyarakatnya.
Sifat sebagai makhluk sosial sudah
dimiliki sejak bayi, dan tampaknya merupakan potensi yang dibawa sejak lahir.
Bahwa manusia merupakan makhluk sosial karena beberapa faktor berikut: a) Sifat
ketergantungan manusia dengan manusia lainnya, b) Sifat adaptability dan intelegensi.
Dengan demikian, manusia sebagai makhluk sosial, menjadikan sosiologi sebagai
landasan bagi proses dan pelaksanaan pendidikan, karena memang karakteristik
dasar manusia sebagai makhluk sosial akan berkembang dengan baik dan
menghasilkan kebudayaan-kebudayaan yang bernilai serta peradaban tinggi melalui
pendidikan.
Dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh
sosiologi pendidikan meliputi empat bidang, yaitu:
1. Hubungan system pendidikan dengan
aspek masyarakat lain, yang mempelajari: a. Fungsi pendidikan dalam kebudayaan
b. Hubungansistem pendidikan dan proses control social dan system kekuasaan. c.
Fungsi system pendidikan dala memelihara dan mendorong proses social dan
perubahan kebudayaan d. Hubungan pendidikan dengan kelas social atau system
status e. Fungsionalisme system pendidika formal dalam hubungannya dengan ras,
kebudayaan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2. Hubungan kemanusian di sekolah yang
meliputi: a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan
di luar sekolah b. Pola interaksi social atau sruktur masyarakat sekolah.
3. Pengaruh sekolah pada perilaku
anggotanya, yang mempelajari: a. Peranan social guru b. Sifat kepribadian guru
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku siswa d. Fungsi sekolah
dalam sosialisasi anak-anak
4. Sekolah dalam komunitas yang
mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok social lain didalam
komunitasnya, yang meliputi: a. Pelukisan tentang komunitas seperti tampak
dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah b. Analisis tentang proses
pendidikan seperti tampak terjadi pada system social komunitas kaum tidak
terpelajar c. Hubungan antara sekolah dan komunitas dalam fungsi
kependidikannya d. Factor-faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya dengan
organisasi sekolah.
Keempat bidang yang dipelajari
tersebut sangat esensial sebagai saran untuk memahami system pendidikan dalam
kaitannya dengan keseluruhan hidup masyarakat.
Kajian sosiologi tentang pedidikan
pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun
pendidikan luar sekolah, terutama apabila di tinjau dari sosiologi maka
pendidikan keluarga adalah sangat penting karena keluarga merupakan lembaga
social yang pertamabagi setiap manusia.
Latar
belakang histories perkembangan sosiologi pendidikan
Ketika
diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883,
Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan
dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam masyarakat
Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam
memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih
besar untuk maju dan memiliki kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang
sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan.
Untuk
menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak pemerintahnya agar
menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar di USA
berlangsung 11 tahun, sampai tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et.
al., 2007: 78). Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk lahirnya Educational
Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20.
Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja,
et. Al., 2007: 79).
Fokus
kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai
alat untuk memecahkan permasalahan social dan sekaligus memberikan rekomendasi
untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru
ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari
adanya 14 universitas yang menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology,
pada tahun 1914. Selanjutnya, pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional
bernama National Society for the Study of Educational Sociology dan menerbitkan
Journal of educational Sociology. Pada tahun 1948, organisasi progesional yang
mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan dari American Sociological
Society. Pada tahun 1928 Robert Angel mengeritik Educational Sociology dan
memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian
pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education bisa
menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang bertujuan
mengembangkan teori dan ilmu sendiri.
Dengan
dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik
para sosiolog untuk melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka
diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education dan Journal
of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963).
Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun
berubah menjadi seksi Sociology of Education yang berlaku sampai sekarang.
Penelitian dan publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education
sejak pasca Perang Dunia II. Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa karena
pergeseran pandangan tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh
pijakan yang kokoh. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August
Comte (1798-1857) pada tahun 1839 (Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 96).
Di Prancis, pelopor sosiologi pendidikan yang terkemuka adalah Durkheim
(1858-1917), merupakan Guru Besar Sosiologi dan Pendidikan pada Universitas
Sorbonne.
Di
Jerman, Max Weber (1864-1920) menyoroti keadaan dan penyelenggaraan pendidikan
pada masyarakat dengan latar belakang sosial budaya serta tingkat kemajuan
berbeda. Sedang di Inggris, perhatian sosiologi pada pendidikan pada awalnya
kurang berkembang karena pelopor sosiologi-nya, yaitu Herbert Spencer
(1820-1903) justru merupakan Darwinisme Sosial. Namun belakangan, di Inggris
muncul aliran sosiologi yang memfokuskan perhatiannya akan analisis pendidikan
pada level mikro, yaitu mengenai interaksi social yang terjadi dalam ruang
belajar. Berstein, misalnya, berusaha dengan jalan menyajikan lukisan tentang
kenyataan dan permasalahan yang terdapat dalam sistem persekolahan dengan tujuan
agar para pengambil keputusan menentukan langkah-langkah perbaikan yang tepat.
Pendekatan Berstein ini oleh Karabel dijuluki sebagai atheoretical, pragmatic,
descriptive, and policy focused (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 80).
Di
Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat,
dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para
pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan
kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan
politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan
emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidkan itu amat elitis, lama
kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan
wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi
Sartika.
Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang
bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk
memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian
pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut.
Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah
nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma social yang
mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota
masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma
yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham
kolektivisme, (3) paham integralistik. Paham individualisme dilandasi teori
bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat
apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang
lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih
mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat.
Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai
pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling
berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme
memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota
masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya.
Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota
masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan
masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara
individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan
juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan
tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham
integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan
dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan
bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga
negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh
karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia
secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
Ruang Lingkup dan Fungsi Kajian
Sosiologi Pendidikan
Para ahli Sosiologi dan ahli Pendidikan sepakat bahwa,
sesuai dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga
Educational Sociology) adalah cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya
diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para guru, dan
pemikir pendidikan) dan para mahasisiwa serta professional sosiologi.
Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover
mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut:
1.
Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain
2.
Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar,
3.
Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
4.
Pengaruh sekolah terhadap perilaku
anak didik (Rochman Natawidjaja, et. Al. 2007: 81).
Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi
mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses
pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut
kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.
Sosiologi Pendidikan secara operasional dapat defenisi
sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian pada mempelajari hubungan
antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, antara unit pendidikan
dengan komunitas sekitar, interaksi social antara orang-orang dalam satu unit
pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik (Rochman
Natawidjaja, et. Al., 2007: 82).
Sebagaimana
ilmu pengetahuan pada umumnya, Sosiologi Pendidikan dituntut melakukan tiga
fungsi pokok, yaitu :
1.
Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan
atau memberikan pemahaman tentang fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup
pembahasannya. Untuk diperlukan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari
yang bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap,
data dan informasi mengenai hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari
lingkungan sendiri maupun dari lingkungan lain, serta informasi tentang masalah
dan tantangan yang dihadapi. Dengan informasi yang lengkap dan akurat,
komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan dapat
menafsirkan fenomena – fenomena yang dihadapi secara akurat.
Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.
2.
Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan
pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan
dengan itu, tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat
bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat
melalui berbagai media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam
perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan
baru.
3.
Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan
pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang
memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi,
prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan
fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model
pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi
Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi tentang interaksi
sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan
dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga pendidikan dan
komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata
kehidupan lain.
Masyarakat
Indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Landasan sosiologis mengandung norma
dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut
oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa kita
harus memusatkan perhatian kita pada pola hubungan antara pribadi dan antar
kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat
yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya
menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus
dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Landasan sosiologis pendidikan di
Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan
masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk
mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3)
negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak
dan kewajiban.
Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan
juga kualitas struktur masyarakatnya.
Masyarakat
selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung
dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat
tinggal di wilayah tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau
memiliki kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup
dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada
umumnya lebih abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit
lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hidup
memiliki ciri utama, antara lain:
1.
Ada interaksi antara warga-warganya
2.
Pola tingkah laku warganya diatur oleh adat istiadat,
norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas
3.
Ada rasa identitas kuat yang mengikat para warganya.
Kesatuan wilayah, kesatuan adat- istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas
terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga sebagai
patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial (Umar
Tirtarahardja dan La Sulo, 1994: 100).
Masyarakat Indonesia mempnyai perjalanan sejarah yang
panjang. Dari dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia
adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara.
Melalui perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai
satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan
satu masyarakat Indonesia sebagaiu masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai
saat ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik, yakni :
1.
Secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social
atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan
kedaerahan.
2.
Secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola
kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
PENUTUP
Dasar
sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan, dan karakteristik
masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisa ilmiah tentang proses social
di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi
pendidikan meliputi empat bidang: hubungan sistem pendidikan dengan sistem
sosial lain,
hubungan
sekolah dengan komunitas sekitar, hubungan antar manusia dalam sistem
pendidikan dan pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Landasan
sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma
kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan
bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan
antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya
kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial
yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan
bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Sosiologi
pendidikan dituntut untuk melakukan tiga fungsi, yaitu: (1) fungsi eksplanasi,
(2) fungsi prediksi, (3) fungsi utilisasi. Secara umum, sosiologi pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya tersebut melalui pengkajian
fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model
pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Perkembangan
masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan
nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan
semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk
menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal
menumbuhkembangkan ke-Bhineka tunggal ika-an, baik melalui kegiatan jalur
sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana,
Wayan. 1986. Dasar-dasar Kependidikan. FIP IKIP. Malang.
Abdal. 2007. Pembinaan
Guru Dalam Penyusunan Karya Tulis Sebagai Pengembangan Dan Peningkatan
Kompetensi Profesi Pendidik.
(Online), diakses 6 Oktober
2016.
Anwar
sulkhudin, 2013. Staffing dalam lembaga
pendidikan islam, Fakultas Agama Islam, prodi pendidikan bahasa arab, Univ
yudharta pasuruan.(Online) diakses, 8 Oktober 2016
Bachri,
Syamsul. 2002. Sosiologi Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Dantes, Nyoman. 2014. Landasan Pendidikan: Tinjauan dari Makropedagogis. Yokyakarta :
Graha Ilmu
Dimyati, Muhammad. 1996. Landasan
Pendidikan: Analisis Keilmuan, Teorisasi, dan Praktek Pendidikan. Malang : IKIP
Malang
Halim, A. & Supriyono. 2011. Landasan-Landasan Pendidikan dan
Pembelajaran (Landasan Filosofis Pendidikan). Malang: Pascasarjana Universitas Negeri
Malang.Pengetahuan. Makalah. Program
Pascasarjana UNM. Makassar
Robandi, Bambang. 2005. Handout: Mata Kuliah Landasan Pendidikan.
Bandung : UPI
Suriansyah, Ahmad. 2011. Landasan Pendidikan. Banjarmasin: Comdes
Tirtarahardja,
Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Rhineka
Cipta Jakarta.
Inayah, R., Martono, T., &
Sawiji, H. Pengaruh Kompetensi Guru,
Motivasi Belajar Siswa, dan Fasilitas Belajar Terhadap Prestasi Belajar Mata
Pelajaran Ekonomi Pada Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Lasem Jawa Tengah Tahun
Pelajaran 2011/2012. (Online), diakses 8
Oktober 2016.
Juarsa, Osa. 2014. Peningkatan
Prestasi Belajar Sosiologi Siswa SMU Negeri 4 Kota Bengkulu Melalui
Pembelajaran Kreatif dan Produktif. (Online) diakses, 8 Oktober 2016.
Novara, Sura Arni Dkk. 2011. Landasan – Landasan Pendidikan. (Online),
diakses 10 Oktober 2016
Natawidjaya,
R., Sukmadinata, N.S., Ibrahim. Djohar, A,. 2007.
Ilmu Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis. Universitas Pendidikan Indonesia.
Putrayasa, Ida Bagus. 2012. Buku Ajar
Landasan Pendidikan. (Online) diakses, 9 Oktober
Sugianto, Akhmad. 2013. Landasan Sosiologis Pendidikan. (Online)
diakses 7 Oktober
Suprihatin, Wara. 2007. Filosofi Sebagai Landasan Pendidikan.
(Online) diakses 8 Oktober 2016
Suyitno. 2009. Landasan Filosofi Pendidikan: Pengertian dan Permasalahan-permasalahan
Filsafat Pendidikan. (Online), diakses 8 Oktober 2016
Tirtarahardja,
Umar dan S.L. La Sulo, 1994. Pengantar Pendidikan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Yasin, A, F. 2011. Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Agama Islam Di
Madrasah (Studi Kasus Di Min Malang I. (Online), diakses
6 Oktober 2016.
Jangan lupa berikan komentar dan saran untuk menyempurnakan artikel selanjutnya.melalui email :syaifularifwahyudi@yahoo.com
ReplyDelete