KARAPAN SAPI SEBAGAI
AJANG SILATURAHMI MASYARAKAT MADURA
Karapan sapi merupakan salah satu budaya Madura yang sudah ada sejak abad ke-14 M. Karapan sapi sebagai ajang silaturahmi berbagai bagian mulai dari pejabat pemerintah, peternak sapi khususnya sapi karapan, masyarakat Madura, dan pedagang yang menjajakan berbagai suvenir khas Madura. Festival karapan sapi digelar setiap tahun, mulai September sampai Oktober. Dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-488 Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Minggu 20 Oktober 2018, diadakan kegiatan karapan sapi untuk memperebutkan piala bergilir, acara tahunan ini diikuti oleh peserta dari dalam maupun luar Pamekasan.
Pada karapan sapi, terdapat seorang joki (tokang tongko’) dan dua ekor sapi jantan yang diikat kereta kayu (keleles) sehingga menjadi satu pasang. Joki tersebut bertugas untuk menarik ekor sapi dengan tujuan mengendalikan lari sapi.
Selain dilombakan, karapan sapi merupakan pesta rakyat bagi masyarakat Madura. selain menjadi puncak dari semua rentetan event hari jadi ke 488 Kabupaten Pamekasan, karapan dilaksanakan setelah masyarakat Madura sukses menuai hasil panen padi dan tembakau. Mereka yang ingin mengikuti perlombaan karapan sapi harus mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk keperluan menyiapkan sapi yang akan dilombakan dalam karapan. Perlombaan tersebut membutuhkan biaya hingga lima puluh juta rupiah untuk setiap pasang sapi guna perawatan dan memberi makanan sebelum menjelang pertandingan di arena.
Dalam pertandingan, pemilik sapi dan penonton seringkali menjadikan biaya perawatan yang mahal sebagai alasan taruhan, sehingga banyak dampak buruk yang muncul. Untuk mengembalikan modal, beberapa oknum mengeluarkan uang dalam jumlah besar sebagai taruhan. Tak sedikit pula pertandingan karapan sapi yang menimbulkan kekerasan dan kericuhan karena sebuah kekalahan. Selain itu, karapan sapi bukan lagi sebagai ajang silaturahmi masyarakat Madura, tetapi sebagai perlombaan mempertahankan kehormatan antarmasyarakat, dan wilayah. Kehormatan seseorang atau kelompok dipertaruhkan dalam karapan sapi dengan segala konsekuansi yang mengikutinya. Menanggapi situasi ini, sebagian ulama di Madura dan pihak pemerintah daerah memutuskan membuat aturan untuk menindak tegas oknum yang berjudi atau melakukan kericuhan di arena karapan sapi dengan tujuan menjaga nilai-nilai yang terdapat dalam karapan tanpa adanya unsur kriminalisasi.
Karapan sapi merupakan tradisi yang menjadi kebanggan masyarakat Madura. Setiap kali diadakan perlombaan diperkirakan masyarakat yang hadir mencapai 1000-2500 orang. Sebelum perlombaan dimulai, setiap pasang sapi akan mengelilingi lapangan dengan tujuan melakukan pemanasan dan memberikan penghormatan pada penonton dengan diiringi musik tradisonal Madura (seronẽn) dan penari yang mengenakan pakaian adat Madura.
Pelaksaan karapan ini, dibagi menjadi tiga babak. Babak pertama, seluruh sapi diadu kecepatnnya untuk menentukan atau memisahkan kelompok menang dan kalah. Babak kedua, memilih kembali pasangan sapi pada kelompok menang akan ditandingkan kembali. Demikian pula dengan sapi kelompok yang kalah. Babak ketiga, setiap sapi yang menang pada masing-masing kelompok diadu kembali untuk menentukan tiga pasang sapi pemenang dan tiga pasang sapi dari kelompok kalah, sampai diperoleh juara I, II, dan III pada setiap kelompok.
Karapan sapi tidak hanya sebagai perlombaan untuk mengadu gengsi pemiliknya, tetapi juga sebagai ajang silaturahmi semua elemen masyarakat Madura, mulai dari ujung timur pulau Madura, yakni Sumenep sampai ujung barat pulau Madura, yakni Bangkalan hingga daerah tapal kuda, seperti Situbondo, Pasuruhan dll . Selain itu, karapan sapi memiliki nilai-nilai lokal yang harus dipertahankan, yakni nilai tanggung jawab, kerja sama, dan nilai sportivitas.